Tugas Kuliah Naskah Tradisional
Fathul Ulum
120510940
Resume Arsitektur
GAYA ARSITEKTUR CANDI DI JAWA ABAD KE- 8 –15 M
Agus Aris Munandar, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Candi : Nama bangunan kuno dari zaman Hindu-Buddha Nusantara.
Perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa : berlangsung sekitar abad ke-8-15 M. biasa juga disebut zaman klasik.
Dua parameter zaman klasik :
1. Zaman Hindu-Buddha merupakan periode kebudayaan penting yang dalam zaman sebelumnya tidak dikenal, seperti aksara, sistem kerajaan, arsitektur monumental, kesenian,
2. Hasil-hasil pencapaian kebudayaan masa itu terus dikenal hingga sekarang. Misalnya penggunaan bahasa Jawa Kuno yang mengacu kepada bahasa Sansekerta, kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, konsep pahlawan, konsep penguasa yang baik, perempuan ideal, masyarakat sejahtera, dan lain-lain.
Jawa terbagi dalam dua periode, yaitu
a. Zaman Klasik Tua (abad ke-8-10 M), Mataram Kuno
b. Zaman Klasik Muda (abad ke-11-15 M). Sailendra yang beragama Buddha Mahayana
Kata R.Soekmono (1997) seorang ahli percandian Indonesia candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur.
Ciri candi Langgam Jawa Tengah :
(a) bentuk bangunan tambun,
(b) atapnya berundak-undak,
(c) gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara,
(d) reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis,
(e) letak candi di tengah halaman.
Ciri candi Langgam Jawa Timur :
(a) bentuk bangunannya ramping,
(b) atapnya merupakan perpaduan tingkatan,
(c) Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala,
(d) reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit,
(e) letak candi bagian belakang halaman (Soekmono 1997: 86).
Ciri relief di candi-candi Langgam Jawa Tengah adalah:
1.Pemahatan relief tinggi
2.Penggambaran bersifat naturalis
3.Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu)
4.Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil
5.Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface)
6.Cerita acuan berasal dari kesusastraan India
7.Tema kisah umumnya wiracarita (epos)
8.Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir.
Ciri relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:
1.Pemahatan relief rendah
2.Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit
3.Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata)
4.Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat “ketakutan pada bidang yang kosong”.
5.Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping
6.Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India.
7.Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan)
8.Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28-29).
Berdasarkan bentuk arsitekturnya, sebenarnya candi-candi di wilayah Jawa bagian tengah dapat dibagi ke dalam dua macam gaya yaitu
(1) candi-candi Hindu-Saiva dan
(2) candi-candi Bauddha.
Persamaan :
a.umumnya mempunyai pondasi yang berbentuk sumuran
b.secara vertikal terdiri dari 3 bagian, yaitu, kaki, tubuh, dan atap bangunan
c.mempunyai ruang utama di tengah bangunan
d.dilengkapi dengan sejumlah relung yang kadang-kadang diperbesar menjadi ruang
e.pipi tangga berbentuk ikal lemah
f.terdapat gabungan bingkai padma, setengah lingkaran, dan rata
g.ornamen yang selalu dikenal adalah hiasan Kala dan Makara.
Perbedaan :
ciri khas yang dimiliki oleh candi Hindu, yaitu:
1.Di bagian tengah pondasi terdapat sumuran (perigi) tempat untuk menyimpan pendaman
2.Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
3.Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan-kiri pintu (berisikan arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan NandiSvara)
4.Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisikan arca Nandi.
5.Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga-Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
6.Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, kemuncaknya berbentuk motif ratna.
Ciri-ciri penting candi Buddha
1.Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
2.Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
3.Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
4.Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap
5.Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat bauddha
6.Di bilik candinya, menempel di dinding belakang terdapat “pentas persajian” , untuk meletakkan arca.
7.Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
8.Pada beberapa candi besar halaman percandian diperkeras dengan hamparan balok batu, hal itu dapat ditafsirkan bahwa di masa silam pernah terjadi ritual yang banyak menyita aktivitas di halaman tersebut.
Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13-16 M, dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu (1) Gaya Singhasari, (2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur“, dan (5) Punden berundak. Untuk lebih jelasnya ciri setiap gaya tersebut adalah sebagai berikut:
1.Gaya Singhasari
Dinamakan demikian karena wujud arsitektur yang menjadi ciri gaya ini mulai muncul dalam zaman kerajaan Singhasari dan terus bertahan hingga zaman Majapahit. Ciri yang menonjol dari Gaya Singhasari adalah:
a.Bangunan candi utama terletak di tengah halaman, atau di daerah tengahnya yang sering tidak terlalu tepat.
b.Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
c.Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.
Contoh gaya Singhasari adalah: Candi Sawentar, Kidal, Jawi, Singhasari (memiliki keistimewaan), Angka Tahun Panataran, Kali Cilik, Ngetos, dan Bangkal.
2.Gaya Brahu
Brahu adalah nama candi bata yang terletak di situs Trowulan, bentuk bangunannya unik, karena arsitekturnya baru muncul dalam zaman Majapahit. Dalam masa sebelumnya baik di era Singhasari atau Mataram Kuno bentuk arsitektur demikian belum dikenal. Dapat dipandang sebagai corak arsitektur tersendiri karena selain Candi Brahu candi yang sejenis itu masih ada lagi dalam zaman yang sama. Ciri Gaya Brahu adalah:
a.Bagian kaki candi terdiri atas beberapa teras (tingkatan), teras atas lebih sempit dari teras bawahnya).
b.Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
c.Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.
Termasuk kelompok Gaya Brahu adalah Candi Brahu, Jabung, dan Gunung Gangsir. Dalam pada itu di wilayah Padang Lawas, Sumatra Utara terdapat sekelompok bangunan suci dengan Gaya Brahu pula, dinamakan dengan Biaro Bahal yang jumlahnya lebih dari 3 bangunan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas tersebut didirikan dalam masa perkembangan Majapahit pula.
3.Gaya Jago
Candi Jago terletak di Malang, arca-arcanya berlanggam seni Singhasari dengan adanya tokoh yang diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya, namun gaya bangunannya tidak sama dengan dua macam gaya yang telah disebutkan terdahulu. Menilik bentuk bangunannya yang berbeda dengan dua gaya lainnya, maka Candi Jago bersama beberapa candi lainnya yang sejenis termasuk ke dalam gaya seni arsitektur tersendiri. Untuk memudahkannya gaya arsitektur itu dinamakan dengan Gaya Jago, dengan Candi Jago sebagai contoh terbaiknya. Ciri-ciri penting Gaya Jago adalah:
a.Kaki candi berteras 1, 2 atau 3 dengan denah dasar empat persegi panjang.
b.Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas.
c.Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.
Bangunan candi yang termasuk kelompok Gaya Jago adalah: Candi Jago, Candi Induk Panataran, Sanggrahan, dan Kesiman Tengah.
4. “Candi Batur“
Dinamakan demikian karena bentuknya hanya merupakan suatu bangunan 1 teras sehingga membentuk seperti siti inggil atau batur. Sekarang hanya tersisa batur itu saja dengan tangga di salah satu sisinya, denahnya bias berberntuk bujur sangkar dan dapat pula berbentuk empat persegi panjang. Di bagian permukaan batur biasanya terdapat objek sakral, antara lain berupa lingga-yoni, altar persajian, pedupaan berbentuk candi kecil atau juga arca perwujudan tokoh yang telah meninggal. Contoh bangunan candi seperti itu adalah Candi Kedaton di Probolinggo, Candi Kedaton di Trowulan, Candi Miri Gambar, Tegawangi, Surawana, Papoh (Kotes), dan Pasetran di lereng utara Gunung Penanggungan.
5.Punden berundak
Adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar persajian yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV). Selain di Gunung Penanggungan terdapat pula beberapa punden berundak di lereng timur Gunung Arjuno, hanya saja dinding teras-terasnya disusun dari batu-batu alami, tanpa dibentuk dahulu menjadi balok-balok batu.
Arsitektur Modern
Seperti juga halnya dengan banyak bekas koloni negara Eropa di Asia pada umumnya, perkembangan arsitektur modern1 di Nusantara baru dimulai pada awal abad ke 20. Perkembangan arsitektur modern di Nusantara pada mulanya diperkenalkan oleh arsitek swasta Belanda seperti: P.A.J. Moojen, Henri Macline Pont, Thomas Karsten dsb.nya serta arsitek yang bekerja pada Kementerian Pekerjaan Umum (B.O.W.- Burgelijke Openbare Werken) di Batavia, seperti: F.L. Wiemans, Snuyf, Gerber, Von Essen dkk.nya. Mereka ini pada umumnya mendapat pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Delft di Belanda.
Diantara dominasi arsitek Belanda tersebut terselip sebuah nama arsitek kelahiran Semarang, yaitu Liem Bwan Tjie.berkarya sebagai seorang arsitek. Puluhan bangunan karyanya tersebar diseluruh Indonesia. Bahkan ia tercatat sebagai salah seorang penggagas Ikatan Arsitek Indonesia (I.A.I.).Tapi namanya jarang terdengar dalam perkembangan arsitektur di Indonesia. Semua berkas arsip karyanya sekarang disimpan pada Nederlands Architectuurinstituut (NAi),di Belanda. Mungkin karena sedikitnya publikasi tentang arsitektur pada th. 1945 sampai 1970 an, namanya menjadi kurang dikenal.
Arsitek modern, tidak mengalami perkembangannya di Indonesia, karena sebagaimana gaya arsitektur lain yang diimpor dari negara-negara barat, gaya ini masuk ke Indonesia sebagai pengaruh globalisasi. Gaya arsitektur modern muncul sebagai gaya internasional yang cukup memiliki kemiripan di semua tempat, semua negara. Setidaknya, gaya modern tetap mengusung fungsi ruang sebagai titik awal desain. Di Indonesia, gaya modern dipandang sebagai gaya dimana fungsi ruang juga merupakan titik awal desain.
Gaya modern adalah gaya yang simple, bersih, fungsional, stylish, trendy, up-to-date yang berkaitan dengan gaya hidup modern yang sedang berkembang pesat. Gaya hidup modern ditopang oleh kemajuan teknologi, dimana banyak hal yang sebelumnya tidak bisa dibuat dan didapatkan menjadi tersedia bagi banyak orang.
Dalam gaya hidup modern, masyarakat didalamnya cenderung menyukai hal-hal yang mudah dan cepat, karena berbagai alat dibuat secara industrial untuk kemudahan manusia. Sifat dasar gaya hidup modern adalah tuntutan untuk bergerak dan melakukan segala sesuatu dengan lebih cepat, yang didukung oleh teknologi dan industrialisasi. Teknologi dikembangkan untuk membuat pekerjaan dan kehidupan sehari-hari lebih cepat dan mudah, misalnya perkembangan teknologi informasi yang memudahkan manusia berkomunikasi menggunakan alat semacam telepon dan komputer.
Kualitas dan kecepatan menjadi hal yang penting dalam gaya hidup modern, sehingga terdapat kecenderungan untuk melihat nilai benda-benda berdasarkan besar fungsi atau banyaknya fungsi benda tersebut, serta berdasarkan kesesuaiannya dengan gaya hidup yang menuntut serba cepat, mudah dan fungsional.
Dalam arsitektur, gaya hidup modern berimbas kepada keinginan untuk memiliki bangunan yang simple, bersih dan fungsional, sebagai simbol dari semangat modern. Namun, gaya hidup semacam ini hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat saja, terutama yang berada di kota besar, dimana kehidupan menuntut gaya hidup yang lebih cepat, fungsional dan efisien.
Di Indonesia, gaya modern yang diterapkan terkadang masih memiliki unsur-unsur estetika yang diusung dari gaya klasik ataupun etnik, sedangkan sebagian lagi telah memenuhi kaidah desain modern murni. Masih sering didengar istilah arsitektur klasik modern, arsitektur modern etnik, arsitektur tradisional modern, arsitektur bali modern, dan sebagainya. Di Indonesia, terdapat kecenderungan untuk memasukkan unsur tradisi ornamen yang menjadikannya sebuah kategori arsitektur yang ambigu, apakah modern, ataukah postmodern?
Untuk menyebut gaya modern yang berornamen tersebut sebagai gaya modern murni bukanlah hal yang tepat, lagipula proses berkembang gaya ini tidak terjadi di Indonesia. Untuk menyebutnya sebagai gaya postmodern, apalagi, di Indonesia bahkan istilah ini cenderung dihindari untuk menghindari ketidak-fahaman masyarakat. Sehingga gaya arsitektur modern di Indonesia akan muncul sebagai gaya khas "Modern Indonesia" dengan karakter sebagai berikut:
1. Memiliki perhatian yang besar terhadap material bangunan yang digunakan untuk mendapatkan hasil akhir (estetika) yang diinginkan
2. Memiliki analogi mesin dalam penataan dan pengembangan ruang-ruang
3. Menghindari ornamen (bila murni gaya modern), atau menggunakan ornamen (bila postmodern, atau diberi embel-embel semacam: arsitektur modern etnik, arsitektur modern Bali, dan sebagainya)
4. Memiliki perhatian yang besar terhadap fungsi ruang, yang didapatkan dari pola aktivitas penghuni
5. Penyederhanaan bentuk dan ornamentasi dan penghilangan detail yang 'tidak diperlukan' sejauh keinginan desainer (atau pemilik bangunan)
M. Probo Hindarto
http://www.astudio.id.or.id/artkhus94modernindonesia.htm. dan berbagai sumber lainnya
0 Komentar:
Posting Komentar